0362 - 22488
pmdbuleleng@gmail.com
Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa

9HAL YANG MENGHAMBAT BUMDES MENJADI RAKSASA

Admin dispmd | 22 Februari 2018 | 11395 kali

Berdesa.com – Meski sudah berjalan tiga tahun tetapi perkembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dalam mendorong kesejahteraan masyarakat melalui unit usaha yang dibangunnya, masih jauh dari harapan. Ribuan desa masih bahkan masih belum mendirikan lembaga ini. Apa sajakah hambatan-hambatan yang dialami sebagian besar BUMDes sehingga belum juga mampu melaju sebagai lembaga usaha yang cepat memberi pengaruh kesejahteraan bagi desanya?

Dari telusur data yang dilakukan Berdesa.com terungkap, beberapa hal yang membuat BUMDes di banyak desa tak juga mampu bergerak menjadi mesin pendorong kesejahteraan warga. Beberapa hal itu antara lain:

  1. Pemahaman perangkat desa tertama kepala desa mengenai BUMDes masing sangat kurang. Ini terjadi karena kepala desa selama ini hanya mengenal tugas sebagai kepanjangan tangan dari struktur pemerintah di atasnya yang lebih banyak berurusan dengan masalah administrasi dan penanggungjawab proyek dan program yang datang dari atas. Akibatnya, butuh usaha keras untuk memahami BUMDes yang lebih bertumpu pada masalah kewirausahaan. Lemahnya pemahaman mengenai BUMDes itulah yang membuat wacana BUMDes tidak tersosialisasi dengan baik kepada warga desa. Bagaimana bisa bersosialisasi kalau pemahamannya sendiri masih sangat kurang memadai. Akibatnya, isu BUMDes hanya berhembus pada kalangan elit desa saja atau hanya pada lingkaran perangkat desa.
  2. Para perangkat desa belum memahami sepenuhnya besarnya wewenang yang dimiliki desa saat ini meski sudah lahir UU NO. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Azas subsidiaritas dan rekognisi belum sepenuhnya dimanfaatkan sebagai kekuatan desa memanfaatkan potensi dan asset yang dimilikinya sesuai amanat UU Desa.
  3. Konsep pembangunan desa yang selama ini dipahami masih sebatas pemahaman pembangunan fisik dan atas arahan sturktur dari atas. Selain itu pembangunan fisik lebih gampan terlihat sebagai ‘prestasi’ karena ada bentuk fisik yang terlihat. Berbeda dengan proyek pemberdayaan yang lebih bersifat program yang tidak hasilnya tida terlihat secara fisik. Lemahnya pembangunan SDM inilah yang membuat kapasitas kelembagaan dan kewirusahaan desa tidak berkembang.
  4. Belum tercipta komunikasi yang baik antara elit desa dengan warga masyarakat mengenai berbagai isu yang seharusnya dikomunikasikan. Bukan rahasia lagi, sebagian besar kepala desa dan perangkat desa hanya membuka informasi berbagai isu pada kalangan tertentu yang dekat dengan kekuasaan saja. Akibatnya, banyak BUMDes yang strukturnya diisi oleh orang-orang dekat kepala desa atau bahkan keluarganya sendiri. Hal ini juga terjadi pada dataran operasional lainnya. Makanya banyak warga desa tidak tahu isu yang berkembang mengenai BUMDes.
  5. Banyaknya perilaku kekuasaa yang koruptif pada struktur atas, terbukti dengan banyaknya kepala daerah seperti Bupati dan Gubernur yang diringkus KPK karena kasus penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi, membuat spirit menciptakan perubahann sosial untuk masyarakat menjadi loyo dan bahkan malah meniru tindakan itu. Terbukti ada ratusan kepala desa yang saat ini menghadapi meja hijau karena diduga menyalahgunakan dana desa untuk kepentingan dirinya sendiri.
  6. Banyaknya program pemerintah sebelum BUMDes seperti KUD, BUUD dan berbagai program lainnya yang gagal dan tak tentu rimbanya itu membuat sebagian warga desa berpikir bahwa mereka tidak harus mengembalikan dana yang seharusnya menjadi modal bagi usaha desa yang dijalankan BUMDes.
  7. Penguasaan Kemampuan Manajerial yang Kurang Memadai. Tak mudah bagi desa mendapatkan seorang yang memiliki kemampuan manajerial unggul dalam hal pengelolaan usaha. Kalaupun ada warga yang memiliki kemampuan seperti itu biasanya sudah bekerja di tempat lain dan kalau dia ditunjuk mengelola BUMDes maka itu hanya sebatas sambilan saja. Akibatnya, BUMDes tidak melaju dan jalan di tempat. Sementara jika menunjuk orang degan kapasitas yang tidak memadai, ditandai dengan track record yang dimilikinya, maka sama saja dengan membawa BUMDes pada arah yang lebh mengkawatirkan.
  8. BUMDes sendiri tidak cukup ‘seksi’ bagi sebagian besar anak muda untuk berkarya. Masih sulit meyakinkan kaum muda bahwa BUMDes bisa menjamin kesejaheraan bagi para pegiatnya. Ini yang membuat anak muda belum banyak berkiprah di BUMDes, akibatnya logika usaha yang dibangun sebagian besar BUMDes masih dijalankan dengan model konvensional karena dijalankan kaum tua.
  9. Kondisi ini diperparah dengan gencarnya kampanye yang menciptakan citra bahwa BUMDes harus menghasilkan keuntungan besar dengan bentuk profit (rupiah). Ini sangat tampak dari ukuran keberhasilan BUMDes yang sering diukur dari laba yang disetorkan ke kas desa. Cara pandang seperti ini membuat para kepala desa dan perangkat desa tambah beban berat karena harus menciptakan mesin uang. Bagaimana bisa menciptakan unit usaha dengan omset dan untung besar bagi desa terpencil misalnya. Bukankah kesejahteraan sosial tidak hanya masalah angka rupiah saja. Lebih penting mana: keuntungan rupiah besar yang realistis bagi sebagian besar desa atau manfaat sosial sehingga bisa menggerakkan dan mendorong berkembangnya ekonomi desa.

Itulah beberapa situasi yang menghambat laju BUMDes menjadi seperti diharapkan. Desa-desa di seluruh Indonesia harus beranjak dari pola masa lalu karena kali ini desa memiliki weenang penuh mengotimalisasi asset dan kekayaan yang dimilikinya. Bagaimana dengan desa Anda? (dji/berdesa)