0362 - 22488
pmdbuleleng@gmail.com
Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa

Desa dan Instagram: Pembuka Kemitraan dan Showcasing Potensi Desa menuju Desa Siap Digitalisasi

Admin dispmd | 21 Agustus 2018 | 1133 kali

Ekonomi Digital seolah menjadi tajuk bagi karya-karya ilmiah yang dipublikasikan serta menjadi judul umum forum-forum akademisi dan institusi baik dari sektor pemerintah, maupun nonpemerintah dewasa ini. Pada konteks pemerintah, Negara sebagai lembaga dinilai harus mampu berintegrasi dengan penyesuaian strategi politik dan ekonomi dan kebijakan publik demi menyongsong kesiapan negara akan Revolusi Industri 4.0.

Pada konteks sektor non-pemerintah firma konsultan seperti PriceWaterhouseCoopers (PWC Middle East, n.d)) telah memaparkan bahwa jabatan eksekutif seperti CEO harus memperhitungkan dua hal terkait operasional perusahaannya: pertama bagaimana proses talent recruitment akan dipengaruhi oleh gelombang otomasi dan bagaimana lapangan pekerjaan, terutama promosi karyawan akan sangat tergantung pada penguasaan teknologi – technological know-how di masa depan.

Klaus Schwab seperti dikutip oleh Agustin (2018) memaparkan ada setidaknya tiga proses kehidupan yang dipengaruhi oleh terjadinya Revolusi Industri 4.0, yang by definition menurut Schwab, adalah pembauran atau blurring batasan-batasan antara kehidupan digital, fisik dan biologis manusia oleh teknologi.

Salah satu proses kehidupan yang akan menjadi sentral pada artikel ini adalah proses kehidupan digital. Schwab, dikutip oleh Agustin (2018) memunculkan term the internet of things. Artinya, semua perangkat digital berikut internet sebagai platform menghasilkan apa yang disebut hyperconnectivity antara manusia dan dua elemen yang sudah disebut sebelumnya.

Lalu bagaimana kita mendudukkan relevansi the internet of things menurut Schwab didalam entitas yang menjadi subordinat negara, seperti desa? Yulianto (2018) memaparkan hal=hal yang menjadi relevansi sekaligus penyokong digitalisasi desa. Pertama, bahwa gerakan ekonomi digital harus dibentuk di level desa.

Ini dilaksanakan guna “memfasilitasi terbangunnya sentra ekonomi digital dan aktivitas niaga yang berbasis produk unggulan desa.” Kedua, realisasi program Desa Melek Digital. Ketiga, penyiapan sumber daya manusia yang mumpuni untuk menjalankan dua proses digitalisasi yang tadi disebutkan.

Instagram Desa, Antara Peluang dan Tantangan
Desa Karanggedang, Kecamatan Bruno, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah terletak di dataran tinggi di kaki Gunung Bengkuk. Berpopulasi 859 jiwa (per Juni 2018) dan mayoritas (hampir 90% bekerja sebagai petani atau peternak), Desa Karanggedang ternyata sudah memiliki Badan Usaha Milik Desa yang berbentuk Toko Mini Desa (TOMIDES).

Mengacu pada program pokok Kementerian Desa tahun 2015 yang mendorong desa untuk memiliki Badan Usaha Milik Desa sendiri, pada waktu artikel ini dibuat, Toko Mini Desa Desa Karanggedang baru berjalan selama 2 bulan.

Salah satu program kerja pemberdayaan masyarakat Desa Karanggedang yang terkait dengan tajuk artikel ini adalah pembuatan media sosial yang diharapkan menghasilkan output berupa jarrng kemitraan dan media informasi publik.

Hal ini dimotivasi oleh paparan PricewaterhouseCoopers (n.d) bahwa 65% CEO perusahaan percaya bahwa pembuatan media sosial yang bersifat langsung ke publik menjadi sangat penting di dalam konteks ekonomi digital.

Temuan penulis, beberapa BUMDES lokal telah merintis penggunaan sosial media, khususnya Instagram. Product Marketing Director Instagram Susan Rose dalam diskusi media Peran Inst mengatakan per 2016, pengguna Instagram di Indonesia mencapai 45 juta orang, dengan 80% dari total 700 juta pengguna Instagram di Dunia setidaknya mengikuti satu akun bisnis dengan “sepertiga dari konten Instagram Story yang dilihat adalah yang berhubungan dengan akun-akun bisnis.”

Sebutlah mulai dari BUMDES Mitra Usaha Logandu, Karanggayam, Kebumen @bumdes_mitrausaha yang memasarkan produk unggulannya Oyek melalui promosi di Instagram. BUMDES Jembar Jaya, Jemaras Lor, Klangenan, Cirebon menggunakan Instagram sebagai media showcasing kegiatannya, seperti budidaya ikan lele. Yang lebih unik, BUMDES Pasui Studio Foto di Pasui, Enrekang Sulawesi Selatan memiliki 1000-an follower dan memasarkan hasil-hasil photoshoot layaknya studio profesional.

Pada pelaksanaannya, penulis lebih berinisiatif untuk menggerakkan Instagram Desa ketimbang BUMDES melalui beberapa faktor. Pertama, temuan langsung di lapangan bahwa Desa Karanggedang memiliki rute tempuhan yang memiliki medan berat, sampai-sampai BUMDES yang baru berjalan harus menjemput sendiri beberapa barang dagangan yang ada di Kota Purworejo.

Tidak adanya infrastruktur pasar akibat keadaan medan yang sudah dijelaskan, membuat warga Karanggedang tergantung pada pasar yang ada di Desa Cempedak, 20 menit perjalanan dari Karanggedang apabila ingin berbelanja.

Kedua, Desa Karanggedang masih dalam pengembangan identifikasi produk unggulannya, didukung fakta bahwa BUMDES sendiri baru berjalan selama dua bulan. Ketiga, menimbang fakta bahwa kemitraan Desa ada dalam tahap pengembangan; sebagai perbandingan, Desa Cempedak sudah bermitra kuat dengan PT. Djarum – dibuktikan dengan Gapura “Selamat Datang di Desa Hepiiiiii Cempedak” dan berbagai warung yang sudah memasang baliho yang disponsori oleh Djarum 76.

Meskipun di beberapa kesempatan, PT. Djarum sudah bekerjasama dengan Karang Taruna Karanggedang melalui proses pemasaran rokok di kalangan sendiri, dan perwakilan desa sudah diundang di beberapa tukar kunjung. Dari faktor yang terakhir disebutkan, Kemitraan menjadi kunci dalam program pemberdayaan Masyarakat Karanggedang terutama di manajemen sosial media Instagram.

Penulis menginisiasi Instagram @desakaranggedang bersama perwakilan Perangkat Desa dan Karang Taruna pada 4 Juli 2018. Setelah melalui serangkaian rapat koordinasi dan pembuatan content matrix. Per tanggal artikel ini dibuat, yaitu 16 Juli 2018, Instagram Desa Karanggedang sudah memiliki 106 follower dan 15 post, yang diantaranya 4 video pendek dan terus bertumbuh, dengan mayoritas follower adalah BUMDES-BUMDES lain dan mitra-mitra potensial seperti PT. Tunas Jaya Honda.

Strategi yang digunakan adalah showcasing potensi Desa melalui serangkaian post mingguan seperti: Karanggedang itu Karya, Karanggedang itu Sehat, Karanggedang itu Cerdas, dan Karanggedang itu Siaga Bencana. Masing-masing post mingguan berisi kompilasi dokumentasi dengan ditambahi caption tentang potensi masing-masing tajuk: contoh, Post Karanggedang itu Cerdas terdiri dari video dokumentasi kegiatan belajar mengajar informal Bahasa Jepang oleh anak-anak Sekolah Dasar, dst.

Tantangan mulai dari mewujudkan pembangunan Sumber Daya Manusia yang mumpuni untuk manajemen Instagram mulai dari pembuatan konten sampai dengan tindaklanjut kemitraan melalui Instagram masih “digodok” dengan serangkaian program kerja Sosialisasi Manajemen Instagram Desa yang melibatkan seluruh elemen masyarakat desa, terutama Karang Taruna.

Kendala berikutnya adalah minimnya alat yang layak untuk pembuatan konten, seperti kamera High Definition dan laptop yang capable untuk membuat video, diharapkan penulis dapat ditindaklanjuti oleh Pemerintah Desa yang sekiranya bisa menganggarkan pengadaan alat-alat dokumentasi, untuk penggunaan Instagram desa yang berkelanjutan setelah tim KKN meninggalkan lokasi.

Paradigma utama dalam artikel ini adalah, berangkat dari fakta ekonomi digital dan Revolusi Industri 4.0, maka desa dapat menemukan perannya melalui penjalinan kemitraan dari sosial media. Konten yang berkualitas dan keinginan kuat untuk berkolaborasi menjadi penting apabila inisiatif ini akan dibuat menjadi salah satu piloting penggunaan media sosial desa sebagai pembuka jalur kemitraan, selain untuk showcasing potensi desa berikut kearifan lokalnya dan produk-produk unggulannya. (sumber: Alfian Budi Satrio/berdesa.com)