Hubungan warga pedesaan dengan urusan simpan-pinjam bolehlah dibilang seperti dua keeping mata uang, selalu ada dan bersama sepanjang masa. Itu terjadi karena fakta di lapangan, sistem perbankan sederhana ini memang terbukti ampuh mendorong semua orang menjalankan usahanya meski dalam skala kecil.
Data yang dimiliki Berdesa.com mengungkap, dari 22 ribu desa di Indonesia yang telah memiliki BUMDes saat ini, sebagian besar juga memiliki lembaga simpan-pinjam. Seperti yang terjadi di Kabupaten Sumbawa Besar, 101 dari 165 desa di kabupaten ini aktif menjalankan lembaga simpan pinjam yang sebagian dananya berasal dari bantuan keuangan pemerintah kabupaten. Sudah jelas, fakta ini menunjukkan bahwa lembaga simpan-pinjam memang memiliki kemampuan besr mendorong peningkatan produktivitas ekonomi warga desa. Kenapa lembaga simpan pinjam begitu dibutuhkan di wilayah pedesaan?
Setidak-tidaknya ada dua alasan yang membuat simpan-pinjam menjadi lembaga usaha yang strategis di desa: Pertama, karena modal adalah persoalan utama yang dihadapi warga desa untuk menjalankan usahanya. Kedua, karena di Indonesia ini baru 36 persen (sekitar 90 juta orang) yang bisa mendapatkan akses Perbankan. Lembaga simpan-pijamlah yang menjawab prosentase sisanya. Hasilnya, banyak lembaga simpan-pinjam di pedesaan dengan omzet yang akan membuat mata terbelalak. Seperti di Desa Tirtonirmolo memiliki unit usaha simpan-pinjam dengan omset hampir Rp. 9 miliar. BUMDes Ngudi Makmur Pati, omset Rp. 30 juta menjadi 300 juta hanya dalam waktu kurang dari setahun.
Omzet itu tercipta hanya dari putaran uang simpan pinjamnya saja. Padahal jika mau, BUMDes yang memiliki unit usaha ini sesungguhnya bisa menciptakan berbagai unit usaha bagi desanya dengan berbijak pada gerakan simpan-pinjamnya. Maksudnya?
Berbeda dengan bak komersil, lembaga simpan pinjam BUMDes mengenali seluruh nasabahnya dengan mendalam mulai kapasitas ekonomi, pekerjaan yang dijalankan nasabah hingga berapa omzet yang dimiliki nasabahnya. Soalnya, nasabahnya adalah warga desanya sendiri. Nah, dari situ BUMDes menjadi paham apa saja kebutuhan warganya sekaligus peluang usaha yang bisa dikembangkan.
Maka sebenarnya keuntungan yang diperoleh dari usaha ini bisa dimanfaatkan untuk menciptakan unit usaha baru. Misalnya, karena sebagian warga mayoritas petani dan di desa itu belum ada toko pertania maka BUMDes bisa mendirikan toko alat pertanian bagi warga. Hebatnya, lembaga simpan pinjam bisa menjadi penjamin bagi belanja warga. Artinya, warga bisa mendapatkan berbagai barang kebutuhan pertanian dengan sistem angsuran melalui simpan pinjam.
Ini juga bisa dilakukan untuk berbagai jenis usaha yang lain sesuai dengan ‘data’ potensi yang dimiliki BUMDes dari interaksi dengan nasabahnya. Misalnya, data menunjukkan bahwa sebagian besar warga desa berprofesi sebagai nelayan dan mereka belum memiliki toko penyedia alat untuk bernelayan. Jadi, sebenarnya BUMDes bisa memanfaatkan data yang dimilikinya melalui jaringan nasabah simpan-pinjam untuk melahirkan berbagai unit usaha lain bagi BUMDes. Namun yang pasti, lembaga simpan-pinjam milik BUMDes memiliki peran yang besar untuk membebaskan warganya dari cengkeraman renternir. (sumber: dji/berdesa.com)