Ada dua frasa yang tak pernah luput dibahas selama 4 (empat) tahun terakhir tentang Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa). “BUM Desa itu badan usaha? Lalu, apa badan hukum-nya?” Perdebatan ini berlangsung normatif, bukan empiris dan dijawab melalui nalar praktis tentang Badan Hukum (selanjutnya disebut BH) seperti koperasi, PT dan CV.
Negara dan pemerintah pun tak luput dibahas posisinya sebagai BH publik. Dengan alasan negara kesatuan, tak ada lagi BH publik selain pemerintah. Lalu, mengapa BPJS disebut sebagai BH publik dalam Pasal 7 ayat (1) UU BPJS? Bisakah pemerintah sebagai BH publik membentuk BPJS sebagai BH publik?
Tercium pula kekhawatiran, BUM Desa tidak bisa mendapat bantuan pemerintah bila tidak berstatus BH yang jelas. Untuk alasan terakhir ini kami sebut sebagai fenomena BUM Desa tipe Merpati. Merpati selalu hadir ketika ada makanan tersedia. Setelah makanan habis, Merpati pun pergi sekehendaknya sendiri. BUM Desa Merpatikembali hadir bila ada hibah gratis.
Badan Hukum Hanya Konstruksi Teoritis
Logika Subjek Hukum berjalan secara atomis, ditulis dari hal yang besar lalu dibagi-bagi sampai sekecil atom. Mirip makanan kacang atomdi masa Dilan dan Milea.
Subjek Hukum dibagi 2 (dua) yakni perorangan (natuurlijkpersoon) dan badan hukum (rechtspersoon). Subjek Hukum perorangan menunjuk pada manusia secara personal. Sedangkan Badan Hukum (selanjutnya disebutBH) dikonstruksi berdasar aliran teori hukum dan dibagi menjadi BH publik dan BH privat. Ada banyak aliran teori BH mulai teori fictie(von Savigny), teori organis (Otto von Gierke), teori juristic personality (Hans Kelsen) dan lainnya.
Perhatian saya tertuju pada karya Otto von Gierke (Die Genossenschaftstheorie und Die Deutsche Rechtsprechung, 1887). Istilah genossenschaftpunya hubungan kuat dengan asas kekeluargaan dan gotong royong (Rizal Sofyan Gueci, 1999; Silke Becker, 2006). Istilah genossenschaft diletakkan sebagai Subjek Etis dengan menfungsikan Teori Diskursus Hukum dari Habermas (Between Facts and Norms, 1996). Subjek Hukum hanyalah konstruksi teoritik dari pendekatan hukum liberal seperti diajukan oleh Rawls (F. Budi Hardiman, 2013).
Teori Diskursus Hukum bermanfaat untuk memahami Subjek Etis sebagai sumber pengetahuan Subjek Hukum. Utamanya, kita memahami Subjek Etis komunitas lokal (gemeinschaft) dan masyarakat (gesellschaft)yang diulas Ferdinand Tnnies (1887) di Indonesia melompat menjadi kesatuan masyarakat hukum (rechtsgemenschappen) yang normatif.
Dimasa lalu kesatuan masyarakat hukum seperti kongsi dagang Chineesche rechtsgemeenschappen,Kalimantan Barat, menghadapi pilihan menjadi BH privat atau organisasi hukum publik seperti dijelaskan Cornelis van Vollenhoven (Het Adatrecht van Nederlandsch-Indi,1931). Ter Haar mengkritik regulasi kolonial tentang Yayasan dan perkumpulan agar rechtsfiguurwakaf diakui sebagai BH pribumi dalam Beginselen en stelsel van het adatrecht. Nahdlatut Tujjar membentuk Syirkah al-‘Inan(1918) dan dihadapkan pula pada regulasi BH. Ujung dari gerakan badan usaha di Indonesia selalu mengalami problem latensi terkait BH.
Badan Hukum Integrasi
Konsep genossenschaft(Otto von Gierke) dipahami sebagai konsep BH yang relevan melampaui perdebatan tentang gemeinschaftdan gesellschaft. Konsep ini setara dengan usaha bersama berdasar asas kekeluargaan (Soepomo). Disamping itu genossenschaftmengandung permusyawaratan Desa (Yamin). Secara spesifik genossenschaftidentik dengan co-operativeDesa yang selanjutnya digalang dengan ko-operasi ekonomi (bukan Koperasi sebagai BH) menuju Sosialisme Indonesia (Hatta). Soekarno mendinamisir kekeluargaan dengan gotong royong, terinspirasi dari nagari Minangkabau sebagai contoh basis identitas bangsa (tak sekedar berbasis gesellschaft). Simpulannya, Gierke menghantarkan pemahaman tentang BH berdasar asas kekeluargaan, co-operative, permusyawaratan dan gotong royong. Untuk lebih mudahnya kita sebut dengan istilah Badan Hukum Integrasi (BH Integrasi).
Dalam Teori Diskursus Hukum BH Integrasi tidak terpisah dari praksis komunikasi antara negara dan warga negara. Asas rekognisi dan subsidiaritas dalam UU Desa merupakan hasil formasi opini dan aspirasi dalam sistem politis. Desa dipahami sebagai BH Integrasi yang didalamnya terdapat organisasi pemerintahan bermasyarakat (local self-government) dan organisasi masyarakat berpemerintahan (self-governing community). Saya menelusuri perdebatan pimpinan sidang dalam proses amandemen UUD’45 ketika merespons pertanyaan dari Slamet Effendi Yusuf terkait posisi Desa. Menurut penulis, hasil sidang tetap memastikan Desa sebagai BH Integrasi yang secara atomis dibagi menjadi local self-government(Pasal 18 ayat 7 UUD’45) dan self-governing community (Pasal 18B ayat 2 UUD’45).
Uraian panjang dimuka menegaskan BH Integrasi menjadi alas konseptual untuk memahami BH sebagai subjek hukum, baik BH publik dan BH privat.
Mari kita simak Pasal 87 ayat (1) dan ayat (2) UU Desa beserta penjelasannya secara utuh. Pemerintah Desa membentuk BUM Desa. Takdapat dihindari Pemerintah Desa mesti diinterpretasi sebagai Subjek Hukum tertentu. Menurut Himawan Estu Bagijo (2014) putusan Mahkamah Konstitusi telah menentukan legal standing BH publik dan BH privat. Prasyarat normatif dari BH publik adalah ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan, mengemban hak dan kewajiban, memiliki kekayaan, serta dapat menggugat dan digugat di peradilan. Dengan logika hukum ajudikasi MK maka Pemerintah Desa yang ditetapkan secara atributif terkategori sebagai BH publik.
BUM Desa dibentuk Pemerintah Desa melalui proses deliberasi, kekayaan/aset Desa yang dipisahkan, dan secara spesifik tidak dapat disamakan dengan BH seperti PT, CV atau koperasi. Antitesanya, BUM Desa diinterpretasi sebagai Subjek Hukum selain BH privat (PT, CV, Koperasi). Pendapat dari Himawan dimuka menjadi argumentasi bahwa BUM Desa merupakan BH publik fungsional yang dibentuk oleh Pemerintah Desa berdasar UU Desa, dilanjutkan pada Perdes tentang BUM Desa, Keputusan Kades tentang AD/ART maupun kepengurusan BUM Desa. Kedudukannya setara dengan keabsahan akta notaris. Tidak perlu dicampur aduk antara kewenangan Kepala Desa dan Notaris.
BUM Desa menjalankan usaha dibidang ekonomi dan/atau pelayanan umum. Tak pelak, BUM Desa harus beradaptasi memasuki diskursus hukum liberal yang membagi fungsi hukum publik dan hukum privat. Disatu sisi BUM Desa melaksanakan fungsi hukum publik untuk mendayagunakan segala potensi ekonomi Desa. Disisi lain BUM Desa melaksanakan fungsi privat seperti pelayanan jasa, perdagangan, dan pengembangan ekonomi lainnya. Disinilah perubahan pemahaman mendasar terjadi. BUM Desa sebagai BH publik fungsional melaksanakan sekaligus fungsi hukum publik dan privat. Bagi BUM Desa yang melakukan shareholdingmembentuk PT maka kekuasaan administratif tinggal melakukan pengakuan saja, setelah melihat Perdes dan keputusan Kades terkait BUM Desa.
Ulasan pada opini ini pasti dinilai kurang absah bila sekedar dilihat dari perspektif positivisme-legal. Untuk meluaskan cara pandang perancang regulasi hukum perlu belajar dari BUM Desa Tirta Mandiri, Desa Ponggok, Klaten, sebagai referensi untuk BH publik. Pemerintah Desa, BUM Desa Tirta Mandiri dan masyarakat Desa Ponggok melakukan aksi kolektif governing the common atas sumberdaya Umbul air dan lainnya. Aksi kolektif itu berkembang dinamis melalui shareholding(berbagi modal sosial, modal uang dan berbagi hasil), melalui 8 (delapan) PT yang dibentuk oleh BUM Desa Tirta Mandiri. BUM Desa Tirta Mandiri berkedudukan sebagai BH publik yang menjalankan fungsi hukum publik dan privat.
Kedepan nanti dibutuhkan konsensus antara kekuasaan administratif dan kekuasaan komunikatif. BUM Desa diakui sebagai BH publik seperti halnya BPJS. Upaya positivisasi ini tidak perlu mengubah UU Desa, tapi cukup menggunakan kekuasaan Presiden melalui perbaikan Peraturan Pemerintah yang mengatur Desa.*
Anom Surya Putra, Penulis Buku Ruwat BUM Desa ‘Merpati’ (Jarkom Desa, 2017)
Sumber : kompasiana.com