Bagaimana mengelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), atau BUMNag yang ideal? Dalam sebuah kesempatan, wartawan Harian Umum Rakyat Sumbar; Firdaus Abie dan Handi Yanuar, merangkum penjelasan dan pandangan Mohammad Najib, Direktur Usaha Desa. Rahasia keberhasilan BUMDes dituturkan secara terbuka.
Siapa saja bisa membangun dan mendirikan usaha di desa. Apalagi BUMDes. Ruang lingkup dan rasa desanya akan lebih kental dibandingkan individu. Tak sulit. Kami di Usaha Desa, sudah memiliki modul untuk 16 jam membuka usaha di Desa.
Apa yang harus dilakukan? Idealnya. Cari masalah terlebih dahulu. Masalahnya dicari sedemikian rupa. Cari masalah paling umum dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Misalnya, prilaku hidup bersih minim. Sampah berserakan. Manfaatkan saja! Ada peluang di sana. Buat bank sampah. Kumpulkan sampah-sampah tersebut, lalu olah. Jadikan kompos. Jadikan pernak-pernik.
Bisa juga dengan cara lain. Cari apa yang dibutuhkan pasar terlebih dahulu. Sudah ditemui? Oke. Fokus disana dulu. Lalu lihat potensi lingkungan dan SDM. Tak punya? Potensi bisa dihadirkan.
Misalnya, pasar membutuhkan kopi. Peluang pasarnya besar, sementara di desa kita tak ada kebun kopi. Kita bisa menghadirkan kebun kopi. Pinjam atau sewa lahan warga. Tanami kopi. Atau, kumpulkan kopi-kopi di desa tetangga, kita jadi pemasok utama.
BUMDes ini punya prospek cerah. Ia mengambil peran bisnis yang belum dilakukan orang. Lalu, karena ia berada di desanya sendiri, ia akan bisa tumbuh secara baik karena dukungan masyarakatnya.
Tapi sayangnya, masih banyak kepala desa yang belum memberikan perhatian penuh terhadap kehadiran BUMDes. Masih ada yang beranggapan, BUMDes bagian dari beban desa, padahal BUMDes adalah kekuatan baru bagi ekonomi desa.
Apa dasarnya? Pertama, kalau BUMDes berlaga, banyak duit, maka ia akan kembali ke kas desa dalam bentuk deviden karena modal BUMDes berasal dari penyertaan modal desa. Bayangkan, tak ada yang menduga kalau BUMDes di Ponggok, Jawa Tengah, memiliki pendapatan Rp 15 miliar setahun.
Kedua, kalau pun laba dalam bentuk pendapatan langsung kecil, namun dampak ikutannya perlu jadi perhatian. Hakikat BUMDes tidak semata-mata untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya, tetapi bagaimana manfaat yang didapatkan masyarakatnya. Bumde lebih mengutamakan sosial benefit daripada profit oriented-nya.
Di desa Bleberan, Jawa Tengah, ada air terjun Sri Getuk. Konon, masyarakat setempat melukiskan kalau dulu, air terjun tersebut tempat jin buang anak. Tak ada yang mau ke sana. Seram. Menyeramkan.
Desa dan BUMDes mengelola air terjun tersebut untuk obyek wisata. Kunjungan orang ke sana sangat luar biasa. Apa yang kini terjadi? Kini di kawasan tersebut berdiri usaha kecil menengah. Ada banyak warung di sana. Ada ribuan orang yang kini menggantungkan kehidupan dan mata pencahariannya di sana.
Realita ini yang patut dicermati. Bayangkan, daerah yang dulu menakutkan, kini sudah “disulap” menjadi kawasan potensial pendapatan masyarakat desa karena dikelola BUMDes. Artinya, BUMDes berperan besar untuk menggerakkan ekonomi di desa.
Kini tinggal bagaimana mencermati agar BUMDes benar-benar mendapatkan usaha yang tepat. Jangan sampai kejadian ini berulang; ide usaha bagus, tapi tak ada yang beli!
Kenapa hal ini terjadi? Kita terlalu bersemangat, tapi lupa melihat potensi secara utuh. Jika ini terjadi, jangan biarkan berlama-lama. Cari usaha baru. Rumusnya; cari masalah, kaji potensi dan peluang, lalu kerjakan! Artinya, pengelola BUMDes dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam mengelola usaha di desa. Tak ada yang tak mungkin kalau kita mau melakukannya.