Salahsatu yang menghambat berkembangnya Badan Usaha Milik desa (BUMDes) sebagai unit usaha milik desa adalah karena sebagian kepala desa beranggapan BUMDes harus menjalankan fugsinya sebagai mesin uang. Akibatnya, banyak BUMDes menjalankan usaha yang justru mematikan usaha warga dan sebagian lagi segera mati karena tak mampu menjalankannya. Padahal dana terlanjur mengucur sebagai modalnya.
Salahsatu yang membuat pemahaman mengenai fungsi BUMDes menciut menjadi ‘mesin uang’ adalah karena selama ini wacana yang berhembus mengenai BUMDes yang hebat adalah BUMDes yang mampu membukukan miliaran rupiah setahun dari usaha yang dijalankannya. Fakta ini bahkan terpapar dengan gambling pada setiap award mengenai ‘BUMDes-BUMDes Terbaik baik di tingkat nasional maupun regional. Alhasil, BUMDes yang menongkrongi nomor-nomor pemenang adalah BUMDes yang itu-itu saja.
Beberapa BUMDes memang memiliki penghasilan yang mencengangkan. Tetapi penghasilan itu ditopang beberapa faktor yang hanya dimiliki segelintir desa. Misalnya, memiliki obyek wisata alam nan istimewa sehingga mengundang ribuan orang datang berwisata ke sana. Obyek wisata itu bahkan sebenarnya memang sudah ramai sejak sebelum wacana BUMDes membahana di sekujur nusantara. Tak heran makanya begitu dikelola BUMDes lalu menciptakan angka yang luar biasa.
Masalahnya, anugerah alam yang indah dan menarik hati orang untuk berwisata tidak dimiliki semua desa. Di lain sisi, kalaupun ada berbagai desa memiliki alam menakjubkan, tetapi karena letak geografisnya yang tak mudah dijangkau dan berada di wilayah yang jumlah penduduknya tak cukup besar, maka wisata bukan pilihan menarik untuk dikembangkan.
Ada pula BUMDes yang dianggap sukses luar biasa tetapi ternyata infrastruktur yang dijalankan BUMDes untuk menghasilkan uang adalah infrastruktur yang lahir karena bantuan pemerintah juga jauh hari sebelum BUMDes mengelolanya. Fenomena ini terjadi pada beberapa BUMDes yag dinilai gemilang karena berhasil mengelola layanan air minum. Tanpa ada kejelasan bahwa instalasi air yang digunakan adalah bantuan program pemerintah sebelumnya, dengan anggaran yang tidak murah dan tidak bisa dibiayai Dana Desa. Sayangnya, fakta seperti ini tidak diungkapkan tetapi langsung saja mendapatkan banyak penghargaan.
Fenomena ini menciptakan beberapa akibat yakni sebagian besar kepala desa menganggap BUMDes yang hebat hanya diukur dari jumlah pendapatan rupiah yang dibukukan setiap tahun. Akhirnya, mereka terus mencari cara agar bisa menciptakan BUMDes yang bisa menghasilkan yang sebanyak-banyaknya. Salahsatu caranya, mendirikan unit usaha yang sebenarnya sudah dijalankan sebagian warganya. Soalnya, merumuskan jenis bisnis yang baru sama sekali tidak muda bagi seorang kepala desa dan perangkatnya. Jangankan merumuskan konsep usaha baru, lha wong menjalankan usaha yang sudah banyak dilakukan saja belum tentu berhasil. Akhirnya, ada banyak cerita BUMDes yang penuh semangat mendirikan unit usaha lalu dalam hitungan bulan kemudian mandeg tak jelas nasibnya.
Akibat kedua adalah sebagian desa menjadi ciut nyali mengejar ‘ketertinggalannya’. Mereka merasa tidak memiliki potensi alam yang hebat sebagaimana BUMDes yang dianggap hebat dan tak punya pula potensi yang hebat untuk diolah menjadi BUMDes yang hebat. Pendeknya, mereka merasa tak akan bakal besar dan hebat dengan kondisi desanya. Belum lagi menghadapi resiko hukum jika salah kelola dana desa. Soalnya, tak sedikit pula kepala desa yang kini mendekam di hotel prodeo karena diputus salah dalam mengelola dana desa. Bagaimana yang seharunya?
Managing Director PT Usaha Desa Sejahtera, perusahaan sosial yang fokus mendorong perkembangan ekonomi desa menyatakan, fenomena ini patut disayangkan. “ Seharusnya yang dihembuskan adalah BUMDes adalah sebuah inisiasi bagi desa untuk menatasi masalah-masalah sosial dan ekonomi di wilayahnya. Istilahnya social-enterepenurship. Jadi bukan semata-mata hanya untuk menghimpun kekayaan material sebesar-besarnya,” ujar inisiator berbagai program social entrepreneurship ini.
Setidaknya, kata Najib, ada tiga ciri dalam gerakan kewirausahaan sosial yakni Doing Good alias menciptakan manfaat untuk banyak orang dan menyelesaikan persoalan-persoalan mereka. Kedua Contribute to Change atau menstimulasi perubahan-perubahan di dalam masyarakat dalam berproduksi hingga menciptakan transaksi dan ketiga Making Money yakni menciptakan kesejahteraan dengan menciptakan pendapatan dan pengembangan usaha yang terus tumbuh.
“Kepala desa dan warga pedesaan harus memahami tiga hal ini sehingga mereka tak perlu kecil hati mengembangkan kesejahteraan mereka dengan asset dan potensi yang mereka miliki. Soalnya, ada banyak BUMDes yang memang secara rupiah tidak membukukan angka mencengangkan tetapi mereka berhasil menciptakan manfaat sosial yang luar biasa dan jika diuangkan, nilainya akan sangat besar,” katanya. Jadi, mana yang Anda pilih untuk desa Anda? (sumber:aryadji/berdesa.com)