Wabah COVID-19 yang telah menyebar ke seluruh provinsi yang ada di Indonesia tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di perkotaan tetapi juga dirasakan oleh masyarakat yang tinggal di perdesaan. Dampak tersebut tidak hanya kepada masalah kesehatan masyarakat perdesaan tetapi juga kepada aspek lainnya seperti aspek ekonomi dan sosial (Atmoko, 2020; Mukaromah, 2020).
Relasi antara kota dengan desa yang memposisikan desa sebagai penyokong aktivitas perkotaan berimplikasi kepada posisi desa yang banyak bergantung ke kota (Yunani, 2017).
Apabila terdapat permasalahan di kota maka akan berdampak kepada desa, hal ini sejalan dengan kondisi empiris selama wabah COVID-19, menurunnya aktivitas perekonomian di kota berakibat banyaknya warga masyarakat desa yang selama ini bekerja di kota harus berhenti bekerja atau kehilangan pekerjaan.
Bagi masyarakat yang bekerja di desa seperti di bidang pertanian, perkebunan dan perikanan harus pula mengalami kerugian dikarenakan menurunnya permintaan dari masyarakat perkotaan terhadadap produk-produk pangan yang dihasilkan di perdesaan.
Kondisi sebagaimana dijelaskan tersebut diatas menunjukan bahwa desa sebagai unit penyelenggaraan pemerintahan terbawah yang langsung berhadapan dengan masyarakat menerima dampak yang sama dari adanya wabah COVID-19, sehingga upaya penanggulangan terhadap COVID-19 di tingkat desa harus pula memiliki kesamaan dengan upaya penanggulangan COVID-19 di tingkat kota.
Kebijakan pemerintah yang memberikan hak kepada pemerintah daerah untuk memberlakukan tatanan normal baru bagi daerah-daerah yang dinilai telah mampu menanggulangi COVID-19 harus pula diikuti oleh pemerintah desa dengan memberlakukan tatanan normal baru di tingkat desa, sehingga adanya kesetaraan hak dan peran dalam upaya pemulihan pasca penanggulangan wabah COVID-19.
Tatanan normal baru pada hakekatnya merupakan bentuk respons pemerintah dalam mengupayakan keberlanjutan kegiatan masyarakat khususnya kegiatan ekonomi dan sosial yang selama pandemi COVID-19 banyak terdampak (Pemerintah Indonesia, 2020a, 2020b).
Tatanan normal baru merupakan sinergitas upaya penanggulangan COVID-19 dengan keberlanjutan kegiatan masyarakat yang mana seluruh aktivitas ekonomi, sosial dan lainnya di ruang publik diharuskan mentaati protokol kesehatan sebagai upaya kesiagaan terhadap penyebaran COVID-19.
Tatanan normal baru mengharuskan adanya batasan jumlah orang yang berinteraksi di ruang publik dalam tempat dan waktu secara bersamaan, jaga jarak antara satu dengan yang lainnya serta menggunakan alat pelindung diri seperti masker agar meminimalisir penularan COVID-19 (Hakim, 2020; Keogh, 2020).
Berbagai aktivitas dalam interaksi sosial yang secara intens dilakukan dengan menghadirkan masyarakat secara fisik didorong menjadi bentuk interaksi secara virtual tanpa mengurangi esensi dari interaksi sosial yang tengah dilakukan.
Layanan pemerintah sebelum adanya wabah COVID-19 yang banyak dilakukan secara langsung (tatap muka) harus pula diimbangi dengan optimalisasi layanan publik secara daring/online begitupun dengan jasa publik lainnya yang diberikan oleh pihak swasta, adanya upaya masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya dan interaksi sosial diubah dengan mengoptimalkan infrastruktur virtual, belanja secara daring/online, komunikasi melalui media sosial dan melakukan pertemuan secara daring/online menjadi suatu aktivitas yang harus lazim dilakukan masyarakat di era tatanan normal baru.
Pola aktivitas masyarakat yang dahulunya banyak dilakukan secara fisik (tatap muka) kemudian dioptimalkan menjadi pola aktivitas yang dilakukan secara virtual menuntut ketersediaan infrastruktur teknologi dan informasi sebagai media dalam melakukan aktivitas tersebut, dikarenakan tanpa adanya dukungan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang layak maka pola aktivitas yang dilakukan secara virtual akan menjadi sulit untuk dilakukan.
Teknologi informasi dan komunikasi menjadi bagian dari masyarakat yang tinggal di perkotaan, akan tetapi bagi masyarakat perdesaan teknologi informasi dan komunikasi belum menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka (Ayu, 2018; Nasution, 2016), khususnya bagi desa-desa yang berstatus desa berkembang dan tertinggal yang mana infrastruktur TIK masih minim.
Menjadi pertanyaan kemudian yaitu bagaimana tatanan normal baru diterapkan di desa yang terdampak COVID-19 yang mana pemanfaatan TIK belum sebaik pemanfaatan TIK oleh masyarakat yang tinggal di kota? Apa isu dan tantangan pemanfaatan TIK yang ada di desa? Upaya apa yang harus ditempuh oleh pemerintah untuk mengoptimalkan pemanfaatan TIK yang sudah ada di desa khususnya dalam upaya penerapan tatanan normal baru?
Pertanyaan tersebut didorong adanya kondisi empiris yang mana desa memiliki perbedaan infrastruktur TIK dengan kota, sehingga pelaksanaan tatanan normal baru di desa akan memiliki permasalahannya tersendiri yang akan berbeda dengan kota, hal ini pada akhirnya akan berimplikasi kepada sejauhmana tatanan normal baru dapat diterapkan di desa.