Nama desa ini adalah Sidetapa tapi bloger terkadang menulisnya dengan Sidatapa, secara administratif terletak di wilayah Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali. Desa Sidatapa (Sidetape) ini merupakan sebuah desa Bali Aga atau desa tua di Buleleng yang masih melestarikan budaya dan warisan leluhurnya, sehingga sampai sekarang kita masih bisa menemukan sejumlah kebiasaan atau budaya terjaga lestari di tengah lajunya perkembangan ilmu dan teknologi. Menjaga hal-hal yang berbau tradisional di tengah modernisasi tentu akan sangat jarang kita bisa temukan di tempat lainnya, dan hal seperti inilah membuatnya cukup menarik untuk kita kenal lebih dekat, atau bahkan menjadikan tujuan wisata saat acara jalan-jalan tour anda di Bali.
Dalam peta wisata Bali, Kabupaten Buleleng termasuk kawasan wisata Bali Utara, wilayahnya menawarkan deretan nama objek wisata yang wajib anda kunjungi saat menginap ataupun mengagendakan tour ke wilayah Buleleng, dan salah satu ikon wisata di kawasan ini adalah ikan Lumba-lumba atau dolphin, yang selalu muncul di lepas pantai Lovina, kemudian sejumlah air terjun seperti air terjun Gitgit, Les dan Sekumpul, Brahmavihara Arama, Air Panas Banjar dan juga desa Bali Aga seperti desa Sidatapa ini bisa menjadi rangkaian paket tour menarik di kawasan Bali Utara.
Desa Tua Sidatapa ini diperkirakan mulai ada sejak tahun 785 M, namun demikian belum ditemukan prasasti yang menyebutkan asal-usul keberadaan desa ini, tetapi sumbernya berasal dari penuturan tetua desa atau leluhur mereka sehingga Sidetapa diketahui sebagai desa Bali Aga. Asal-usul Penduduknya terdiri dari sejumlah golongan warga, seperti warga Pasek mendiami daerah Leked, warga Patih di wilayah Desa Kunyit serta warga Batur di wilayah Sekarung. Dan ada sekelompok warga yang tergabung dalam sebuah pura Dadia, belum diketahui akan asal-usulnya dan diperkirakan serta kemungkinannya dari warisan budaya Bali Aga.
Beberapa warisan budaya Bali Aga di desa Sidatapa yang masih bisa ditemukan adalah, adanya sebuah bangunan rumah adat yang sudah tua dan langka bernama Bale Gajah Tumpang Salu, bangunan ini dibuat bertiang empat sesuai kaki gajah dan bertumpang 3 (salu), beberapa rumah penduduk dibangun membelakangi jalan kesannya tersembunyi dan tidak ingin diketahui, mungkin berbeda dengan rumah pada umumnya, lebih mengutamakan akses jalan sebagai tampilan depan rumah. Dinding tembok dan lantai bangunan masih menggunakan bahan dari tanah sebagai pelengkapnya digunakan anyaman ataupun batang bambu utuh.
Kesan tersembunyi dan tidak ingin diketahui aktivitasnya, berhubungan dengan invansi atau serangan pasukan kerajaan Majapahit, penduduk mengalami trauma dan ketakutan, sehingga berusaha menyembunyikan diri dan aktivitasnya, sehingga bangunan rumah dibuat menghadap ke belakang. Namun ada yang mengatakan karena Raja Mayadenawa yang berkuasa kala itu, berprilaku jahat, melarang menyembah Tuhan karena dirinnyalah Tuhan sesunguhnya, untuk menyembunyikan aktivitasnya warga membuat rumah termasuk sanggah (pura di pekarangan) dibuat membelakangi jalan.
Desa Sidatapa dulunya bernama Gunung Sari Munggah Tapa, perubahan nama tersebut tidak lepas dari perjalanan suci pendeta Budha, merasa prihatin atas wabah penyakit (gerubug) mematikan yang menimpa desa ini, kemudian sang pendeta melakukan tapa semadi dan memberikan batas-batas desa.
Sebelum sang pendeta meninggal, beliau mengadakan bhisama dan isinya sebagai berikut, agar menggunakan tirta (air suci) yang berada di Kayon Teben sebagai tirta pembersih, tirta penglukatan serta tirta pengentas bagi orang meninggal, tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan lainnya, nama desa yang dulunya bernama Gunung Sari Munggah Tapa dirubah menjadi Sidatapa, dan segala urusan serta sesuatunya di desa tersebut nantinya diserahkan kepada Dewa Gede Penyarikan.
Seperti halnya desa Bali Aga lainnya Sidetapa juga memiliki budaya serta tradisi unik bernama Agung Briyang, tujuan dari ritual Agung Briyang tersebut untuk mengusir roh-roh jahat.