Semangat UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa menginginkan desa menjadi entitas yang kuat, maju dan mandiri. Desa tak lagi boleh didikte dan mengikuti begitu saja program yang bertajuk pendampingan apalagi ‘program paketan’. Penyusunan program harus melibatkan pemerintah desa berikut masyarakatnya. Apakah hal ini sudah berjalan?
Memandirikan desa merupakan semangat yang terkandung dalam UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa). Dalam konsideran menimbang disebutkan “bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.” Konsideran tersebut yang mendasari isi atau batang tubuh UU Desa.
Permasalahan desa cukup komplek dan sangat kontekstual. Masalah satu desa berbeda dengan desa lainnya. Budayanyapun demikian. Budaya jawa, bugis, melayu, dayak, papua, dan berbagai masyarakat adat berbeda satu dengan lainnya. Adagium “deso mowo coro, negoro mowo toto” (setiap desa mempunyai cara/adat, setiap negara mempunyai aturan hukum) adalah fakta yang telah tumbuh berkembang di bumi nusantara sejak lama. Ribuan masyarakat desa mengalami hal tersebut sejak ratusan tahun yang lalu. Pepatah Latin mengatakan“Ubi societas ibi justicia”, artinya di mana ada masyarakat dan kehidupan di sana ada hukum (keadilan).
Itulah hal pertama harus dipahami dengan baik oleh para pendamping desa. Pendampingan desa saat ini berbeda dengan pendampingan masa lalu. Model pendampingan nasional yang dilakukan sejak pemerintahan Presiden SBY yang seragam tidak dapat lagi dijadikan model pendampingan desa sekarang ini. Sejak diberlakukannya UU Desa, desa mempunyai kewenangan desa yang harus diatur dan diurus oleh desa. Desa memiliki kewenangan untuk menentukan sendiri pengelolaan dana desa yang diberikan oleh pemerintah. Itulah makna kemandirian desa yang diharapkan oleh UU Desa. Pendampingan desa tidak dapat lagi bekerja berdasarkan PTO (petunjuk teknis operasional ) seperti yang dilaksanakan olen pada program pendampingan nasional bertajuk pemberdayaan masyarakat itu, sehingga desa harus mengikuti arahan pendamping.
Sekarang uang sudah ada di desa dan yang dikelola desa bukan hanya dana desa, melainkan ada alokasi dana desa (ADD), bagi hasil pajak, bantuan keuangan provinsi dan kabupaten/kota, hibah, dan pendapatan asli desa (PADesa). “Semua itu dimasukkan dalam APBDesa yang pengelolaannya merupakan kewenangan desa bersangkutan,” kata Drs. Najib Susilo, Kepala BPMPD Kabupaten Ponorogo dalam sebuah siaran pers (Kedaularan Rakyat, 21 Maret 2016).
Pendamping desa sekarang ditantang untuk mengembangkan sendiri strategi dan cara penguatan desa sesuai dengan kontek desa-desa yang didampinginya. Desa tidak dapat didikte dan ikut apa kata pendamping. Strategi dan cara pemberdayaan desa perlu disusun bersama-sama pemerintah desa dan masyarakat desa yang didampinginya berdasarkan analisis sosial dan budaya yang dilakukan di masing-masing desa. Evolusi perubahan (pembaharuan) dan indikator kemandirian desa diputuskan bersama oleh pemerintah desa, organisasi kemasyarakatan, organisasi adat, dan para aktor desa.Tentu akan ada 1001 macam model pendampingan desa di seluruh nusantara. Siapkah pendamping desa menjalankan tantangan tersebut?
Sumber : berdesa.com
Download disini